HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perlindungan diartikan:
- tempat berlindung;
- perbuatan atau hal dan sebagainya memperlindungi
Dari kedua defenisi tersebut secara
kebahasaan terdapat makna kemiripan unsur-unsur dari makna perlindungan, yaitu:
- Unsur tindakan melindungi.
- Unsur adanya pihak-pihak yang melindungi.
- Unsur cara melindungi.
Berdasarkan unsur-unsur di atas,
kata perlindungan mengandung makna sebagai suatu tindakan perlindungan atau
tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak
tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara perlindungan terhadap warga negara dapat dilakukan melalui berbagai
bentuk diantaranya perlindungan ekonomi, sosial, politik dan perlindungan
hukum. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap warga negara tersebut yang
terpenting adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum, sebab hukum dapat
mengakomodir berbagai kepentingan, selain itu hukum memiliki daya paksa
sehingga bersifat permanen karena sifatnya yang konstitusional yang diakui dan
ditaati keberlakuannya dalam kehidupan bermasyarakat. Perlindungan hukum dapat
diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata
dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain
sebagai berikut:
1. Membuat peraturan (by giving
regulation), yang bertujuan untuk:
- Memberikan hak dan kewajiban;
- Menjamin hak-hak para subjek ukum
2. Menegakkan peraturan (by the law
enforcement) melalui ;
- Hukum administrasi Negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara, dengan perijinan dan pengawasan;
- Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman;
- Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.
Berdasarkan penjelasan di atas,
perlindungan hukum bagi para penumpang dapat dilakukan dengan cara membuat
peraturan yang diperlukan, dalam hal ini berbagai peraturan perundang-undangan
dimaksud telah ada di antaranya UU No. 22 Tahun 2009. Selain itu, peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat tersebut harus ditegakkan (by the law
enforcement), baik secara bersifat preventif, represif, maupun kuratif.
Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Bus Umum
Angkutan memegang peranan penting
dalam pembangunan misalnya peningkatan pendapatan nasional, dan menciptakan
serta memelihara tingkat kesempatan kerja bagi masyarakat. Sejalan dengan itu,
peran penting lainnya yaitu dapat mempertinggi integritas bangsa, serta
meningkatkan pertahanan dan keamanan nasional. Peranan penting sektor angkutan
tersebut dapat terwujud secara optimal dengan dukungan berbagai aspek yang
terkait dengan penyelenggaraan angkutan, dimana salah satu aspek yang strategis
adalah terkait dengan pengaturan (hukum) dalam penyelenggaraan angkutan.
Penyelenggaraan angkutan melibatkan berbagai pihak baik itu pihak pemerintah,
pihak swasta maupun pihak masyarakat, dimana masing-masing pihak memiliki
aturannya, pengaturan tentang kewajiban dan hak-hak (misalnya untuk perusahaan
angkutan umum dan penumpang), tidak terlepas dari konteks untuk memberikan
kepastian dan perlindungan hukum bagi penumpang sebagai salah satu pihak dalam
suatu angkutan (angkutan penumpang). Seperti halnya, yang diatur dalam UU No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam penyelenggaraan
angkutan jalan masih dapat dipilah menjadi beberapa macam, seperti angkutan
orang (penumpang)–angkutan barang, angkutan (bus) umum–angkutan pribadi,
angkutan dalam trayek yang menggunakan bus–Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP),
Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) dan lain sebagainya
Perlindungan Hukum Secara Preventif Terhadap Penumpang Bus Umum.
Dalam pasal 2 UULLAJ No. 22 Tahun
2009 dimuat asas-asas dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan
yakni : lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. Asas transparan: yaitu
keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada
masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur
sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Asas akuntabel: yaitu
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Asas berkelanjutan; yaitu
penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan persyaratan teknis
laik kendaraan dan rencana umum pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
d. Asas partisipatif: yaitu
pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan
terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas
peristiwa yang terkait dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
e. Asas bermanfaat: yaitu semua
kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat memberikan
nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
f. Asas efisien dan efektif: yaitu
pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan
oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil
guna.
g. Asas seimbang: yaitu
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus dilaksanakan atas
dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana serta pemenuhan hak dan
kewajiban Pengguna Jasa dan penyelenggara.
h. Asas terpadu: yaitu
penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan dengan
mengutamakan keserasian dan kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab
antar instansi pembina.
i. Asas mandiri: yaitu upaya
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui pengem-bangan dan
pemberdayaan sumber daya nasional. 4 Dalam Pasal 3 UULLAJ No. 22 Tahun 2009
diatur mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yakni :
a. Terwujudnya
pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk
mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. Terwujudnya
etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. Terwujudnya
penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Penyelenggara angkutan penumpang
bus wajib mematuhi dan melaksanakan berbagai persyaratan ketentuan yang diatur
dalam UU No. 22 Tahun 2009, yang keseluruhannya bersumber pada asas dan tujuan
lalu lintas dan angkutan jalan tersebut di atas. Hal tersebut merupakan suatu
bentuk/wujud upaya memberikan perlindungan bagi penumpang, agar terjamin
kenyamanan, keamanan dan keselamatannya, ada suatu mekanisme sosial control
yang diberlakukan. Ada berbagai persyaratan keten-tuan yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh penyelenggara angkutan penumpang bus umum, UULLAJ No. 22
Tahun 2009 juga memuat ketentuan yang berfungsi untuk mencegah (preventif),
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap berbagai persyaratan ketentuan yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penyelenggara angkutan penumpang bus umum.
Berbagai ketentuan yang berfungsi untuk mencegah tersebut, dituangkan dalam
berbagai pasal UULLAJ No. 22 Tahun 2009 yang antara lain memuat ketentuan
tentang Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor, Surat Ijin
Mengemudi, Waktu Kerja Pengemudi Kendaraan Umum, Jalan, Pemeriksaan Kendaraan
Bemotor Di Jalan.
Perlindungan Hukum Secara Represif Terhadap Penumpang Bus Umum.
Berdasarkan UULLAJ No. 22 Tahun
2009, perlindungan hukum secara represif diwujudkan dalam bentuk memberikan
berbagai beban kewajiban bagi para pihak yang terkait, dan diikuti dengan
sanksi. Apabila kewajibankewajiban tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi,
sanksi yang dijatuhkan dapat berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Beberapa sanksi administratif yang dapat dikenakan, yaitu mengenai:
1. Persyaratan teknis dan laik
jalan kendaraan bermotor (antara lain mobil penumpang umum) yang wajib dipenuhi
melalui mekanisme pengujian berkala, apabila dilanggar, berdasarkan UULLAJ No.
22 Tahun 2009 Pasal 76 ayat (1) dikenai sanksi administratif: Peringatan
tertulis; Pembayaran denda; Pembekuan izin; dan/atau Pencabutan izin.
2. Perusahaan angkutan umum wajib
mematuhi dan memberlakukan ketentu-an tentang waktu kerja, waktu istirahat dan
pergantian pengemudi kendaraan umum. Apabila kewajiban tersebut ti-dak dipenuhi
maka berdasarkan UULLAJ No. 22 Tahun 2009 Pasal 92 ayat (2) dikenai sanksi
administratif:
- Peringatan tertulis;
- Pemberian denda administratif;
- Pembekuan izin;
- Pencabutan izin.
Selain sanksi secara administratif,
terhadap berbagai tindakan yang melanggar kewajiban di bidang lalu lintas dan
angkut-an jalan juga diancam sanksi pidana. Sanksi pidana ini mempertegas upaya
pemberian perlindungan hukum secara represif.
Perlindungan Hukum Secara Kuratif Terhadap Penumpang Bus Umum.
Perlindungan hukum secara kuratif
terhadap keselamatan penumpang bus umum, dalam arti terjaminnya hak-hak
penumpang apabila keselamatannya tercederai (mengalami kerugian) karena suatu
kecelakaan di jalan. Pemenuhan hak penumpang dimaksud dapat berupa pemberian
santunan dan/atau ganti rugi. Meskipun sudah ada perlindungan hukum secara
preventif maupun represif, berbagai peristiwa kecelakaan dalam penyelenggaraan
angkutan tetap terjadi. Dalam hal tersebut, secara yuridis formal penumpang
yang menderita kerugian dimungkinkan untuk mendapatkan beberapa perlindungan
hukum secara kuratif, baik menurut UU No. 33 Tahun 1964 maupun UU No. 22 Tahun
2009.
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Menurut Pasal 237 Ayat (1) juncto
Pasal 239 UU No. 22 Tahun 2009 ditentukan bahwa pengangkut diwajibkan mengikuti
program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap korban
kecelakaan, yang akan dibentuk oleh Pemerintah. Jika dicermati lebih mendalam,
sebenarnya ada beberapa permasalahan yang terkait dengan program asuransi ini,
yaitu:
a. Pertama, perusahaan asuransi
kecelakaan ini belum dibentuk oleh Pemerintah seperti yang diperintahkan
melalui Pasal 239 UU No. 22 Tahun 2009.
b. Kedua, asuransi kecelakaan ini
merupakan wujud tanggung jawab pengangkut terhadap korban kecelakaan lalu
lintas (dhi. penumpang bus umum).
Sementara itu berdasarkan Pasal 234 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009, dalam menentukan apakah pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan, diterapkan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault principle). Sebenarnya teori tanggung jawab berdasarkan kesalahan tidak memberikan perlindungan yang maksimal terhadap konsumen, karena konsumen mengalami dua kesulitan dalam pengajuan jawaban kepada pelaku usaha, yaitu:
Sementara itu berdasarkan Pasal 234 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009, dalam menentukan apakah pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan, diterapkan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault principle). Sebenarnya teori tanggung jawab berdasarkan kesalahan tidak memberikan perlindungan yang maksimal terhadap konsumen, karena konsumen mengalami dua kesulitan dalam pengajuan jawaban kepada pelaku usaha, yaitu:
1) Keharusan adanya hubungan
kontrak; dan
2) Argumentasi pelaku usaha bahwa
kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui atau
tidak dapat diduga, sehingga unsur kesalahan tidak terbukti.
Kesimpulan :
Dengan adanya aturan aturan hukum yang
tertera selayaknya warga negara, khususnya masyarakat penyelenggara bus umum dan
masyarakat yang menggunakan jasa transportasi publik ini memaknai penyelenggaran
hukum ini, hal tersebut merupakan suatu bentuk atau wujud upaya memberikan
perlindungan bagi penumpang, agar terjamin kenyamanan, keamanan dan
keselamatannya, ada suatu mekanisme sosial control yang diberlakukan sehingga memungkinkan
agar tidak terjadi tindak kriminalitas yang mungkin dapat suatu saat terjadi.
Saran :
Untuk mengoptimalkan perlindungan
hukum bagi para penumpang bus umum, dapat dilakukan dengan merevisi UU No 22
Tahun 2009 yang semula memberlakukan fault liability principle menjadi no fault
liability principle (baik dalam konteks absolute liability ataupun strict
liability) sebagaimana uraian terdahulu. Selain itu, patut untuk
dipertimbangkan pembentukan sebuah lembaga peradilan yang khusus menangani
perkara gugatan ganti rugi pihak penumpang terhadap pengangkut.
SUMBER :
→ Nasution, K. “Perlindungan Hukum
Terhadap Penumpang Bus Umum”. DIH, Jurnal
Ilmu Hukum 8 (2012): No. 16, Hal. 113 – 121. DOI: file:///C:/Users/USER/Downloads/271-787-1-PB.pdf