Januari 2020

Senin, 06 Januari 2020

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 


Nama                        : Imam Darmanto
NPM                         : 23216457
Kelas                         : 4EB10
Mata Kuliah              : Manajemen Sumber Daya Manusia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya.
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada organisasi maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain.
Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).

            1.2  Rumusan Masalah
1.      Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja ?
2.      Arti dan Sebab-sebab PHK ?
3.      Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja?
4.      Prosedur Pemberhentian Hubungan Kerja?
5.      Hak-hak Karyawan setelah PHK ?

1.3  Tujuan
1        Mengetahui Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
2        Arti dan Sebab-sebab PHK
3        Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja
4        Prosedur Pemberhentian Hubungan Kerja
5        Hak-hak Karyawan setelah PHK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Bagi masyarakat awam, PHK merupakan suatu tindakan pemecatan karyawan dari suatu perusahaan, sehingga dengan pemahaman itu mengakibatkan penilaiain negatif terhadap perusahaan yang melakukan PHK tersebut.Pada materi pisikologi industri kali ini akan dibahas mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai apa dan dan seperti apa sebenarnya PHK itu ?
Istilah pemutusan hubungan kerja (PHK) (sparation) memiliki kesamaan dengan pemberhentian atau pemisahan karyawan dari suatu organisasi. Para ahli pun memberikan pandangan tersendiri terkait PHK. Menurut Tulus (1993), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Sedagkan menurut Hasibuan (2001) pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi (perusahaan). Dari beberapa pegertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pemberhentian karyawan dari suatu perusahaan sehingga antara karyawan dan perusahaan(organisasi) tidak ada hubungan lagi.

2.2 Arti dan Sebab-sebab PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.
Penyebab hubungan kerja dapat berakhir
Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
1.      pekerja meninggal dunia
2.      jangka waktu kontak kerja telah berakhir
3.      adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
4.     adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Jadi, pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

2.3 Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam literatur hukum ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK, yaitu :
A.    PHK Demi Hukum
PHK demi hukum berarti hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya dan ditujukan kepada pekerja atau buruh, pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang berwenang. PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 pasal 154, yaitu :
1.      pekerja atau buruh masih dalam masa percobaan kerja
2.   pekerja atau buruh mencapai usia pensiun sesuai dalam ketetapan PK, PP, PKB atau peraturan perundang-undangan
3.      pekerja atau buruh meninggal dunia 
B.     PHK oleh Pengadilan
PHK oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata atas permintaan yang bersangkutan (majikan atau buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga dapat dikarenakan perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.

C.    PHK Atas Kehendak Pekerja atau Buruh
Pekerja atau buruh sebagai manusia berhak memutuskan hubungan kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja atau buruh karena seorang pekerja atau buruh tidak boleh dipaksa untuk tetap bekerja jika ia tidak menghendakinya. Kehendak untuk mengundurkan diri dilakukan tanpa penetapan oleh lembaga PPHI.
Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1.         mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri
2.         tidak terikat dalam ikatan dinas
3.         tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri dilakukan
4.   Pekerja atau buruh dapat pula mengajukan permohonan PHK ke LPPHI apabila pengusaha melakukan perbuatan seperti :
5.        menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja
6.     membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
7.         tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih
8.         tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja
9.         memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan
10. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

D.    PHK atas Kehendak Pengusaha
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja karena pekerja atau buruh melakukan kesalahan berat dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yang termasuk kesalahan berat ialah:
1. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan
2.      memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan
3.      mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja
4.      melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja
5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja
6.   membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
7.      dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan
8.     dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja
9.  membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara
10.  melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pengusaha dapat pula melakukan PHK terhadap pekerja atau buruh apabila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan dan pekerja atau buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Selain itu, PHK juga dapat di lakukan oleh pengusaha apabila perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian atau pailit serta perusahaan tidak dapat melakukan proses produksi lagi.

2.4 Prosedur Pemberhentian Hubungan Kerja
Pekerja harus diberi kesempatan untuk membela diri sebelum hubungan kerjanya diputus. Pengusaha harus melakukan segala upaya untuk menghindari memutuskan hubungan kerja.
Pengusaha dan pekerja beserta serikat pekerja menegosiasikan pemutusan hubungan kerja tersebut dan mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penetapan ini tidak diperlukan jika pekerja yang sedang dalam masa percobaan bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis, pekerja meminta untuk mengundurkan diri tanpa ada indikasi adanya tekanan atau intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang pertama, pekerja mencapai usia pensiun, dan jika pekerja meninggal dunia.
Pengusaha harus mempekerjakan kembali atau memberi kompensasi kepada pekerja yang alasan pemutusan hubungan kerjanya ternyata ditemukan tidak adil. Jika pengusaha ingin mengurangi jumlah pekerja oleh karena perubahan dalam operasi, pengusaha pertama harus berusaha merundingkannya dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka baik pengusaha maupun serikat pekerja dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2.5 Hak-hak Karyawan setelah PHK
Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) terdapat tiga jenis pesangon yang harusnya diterima karyawan yang di PHK. Anda dapat mendownload UU Ketenagakerjaan di sini. Berikut ini petikan dari pasal 156 UU Ketenagakerjaan:

 Hak Karyawan 1:
Uang Pesangon Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang pesangon seperti yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 2, dengan aturan sebagai berikut:


Hak Karyawan 2:  
Uang Penghargaan Masa Kerja Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang penghargaan masa kerja seperti yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3, dengan aturan sebagai berikut: 

Hak Karyawan 3: 
Uang pengganti hak yang seharus diterima. Selain kedua hak tersebut, menurut UU Ketenagakerjaan pasal 156 ayat 3 terdapat juga uang pengganti hak yang seharusnya diterima, seperti: 
  • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  • Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
  • Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  • Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 PHK merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadi, baik oleh kalangan pekerja atau buruh , pengusaha maupun pemerintah. Bagi buruh tentu akan berdampak pada pemasukan ekonomi keluarganya sedangkan bagi pengusaha PHK berarti kehilangan pekerja atau buruh yang telah dididk dan memahami tentang prosedur kerja di perusahaannya.
 Dalam PHK terhadap pekerja atau buruh tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja.



Referensi : 
https://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
https://brankaseverest.wordpress.com/artikel/pemutusan-hubungan-kerja/
https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/kontrak-kerja/pemutusan-hubungan-kerja
https://betterwork.org/in-labourguide/?page_id=2330
https://www.finansialku.com/apa-saja-hak-karyawan-yang-di-phk-menurut-uu-ketenagakerjaan/



HUBUNGAN SERIKAT KARYAWAN - MANAJEMEN


HUBUNGAN SERIKAT KARYAWAN -  MANAJEMEN


Nama                        : Imam Darmanto
NPM                         : 23216457
Kelas                         : 4EB10
Mata Kuliah              : Manajemen Sumber Daya Manusia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Apabila dikatakan bahwa Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya terpentingyang dimiliki oleh perusahaan, salah satu implikasinya bahwa investasi yang terpenting yangdilakukan perusahaan adalah di bidang sumber daya manusia. Dengan investasi yang besar ini, perusahaan mengharapkan output yang juga besar. Oleh karena itu, perusahaan berusahauntuk mencapainya dengan maksimal.
Dengan adanya Keputusan Menteri No. 5 tahun 1998 mengenai pendaftaran serikat buruh, maka hal itu menandai berakhirnya SPSI sebagai serikat pekerja tunggal. Di bawahpemerintahan Presiden Habibie, Indonesia meralat Konvensi ILO no. 87 tentang kebebasan membentuk serikat pekerja dan hal itu kemudian diikuti oleh keluarnya Undang-Undang No.21 tahun 2000 yang mengatur antara lain pembentukan, keanggotaan, pendaftaran, hak dantanggung jawab serta keuangan serikat pekerja. Sejak keluarnya Undang-undang No. 21tersebut, jumlah serikat pekerja pun bertumbuh pesat.
Pada era Orde Baru, hanya ada satu serikat pekerja yang diakui dan dikontrol oleh pemerintah; yaitu FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Ini adalah cara pemerintah untuk merespon pada persyaratan ILO agar mengijinkan adanya serikat pekerja.Selain serikat pekerja tunggal ini, pemerintah juga membolehkan serikat pekerja non afiliasi pada tingkat korporasi. Meskipun begitu, dengan hanya organisasi tunggal dan non afiliasi,serikat pekerja ini tidak efektif dalam memobilisasi dan membangun kekuatan yang cukupuntu mengusahakan perbaikan kesejahteraan pada anggotanya.
Tetapi kini setelah keluarnya UU No. 21 tahun 2000, ada kebebasan yang lebih besar dan lebih mudah untuk membangun serikat pekerja dalam perusahaan; hanya perlu 21 hari untuk membentuk serikat asal semua persyaratan telah dipenuhi sesuai UU No. 21. Selain itu,UU tersebut juga mengijinkan lebih dari satu serikat pekerja dalam satu perusahaan dan dengan Keputusan Pengadilan Konstitusi No 115/PUU  –  VII/2009, mengijinkan serikat pekerja minoritas untuk membentuk koalisi dan mengambil bagian dalam negosiasi Collective Labour Agreement (CLA),dimana sebelum itu mereka tidak diikutsertakan dalam negosiasi.

          1.2  Rumusan Masalah
1.   Landasan Pertimbangan Pembentukan Serikat Karyawan?
2.   Langkah-langkah Pihak Manajemen ?
3.   Perundingan Kolektif ?
4.   Kesepakatan Kerja Bersama ?
5.   Hubungan Pekerja – Manajemen ?
6.   Tindakan Disiplin dan Pengaduan ?

          1.3  Tujuan
1.   Mengetahui Landasan Pertimbangan Pembentukan Serikat Karyawan
2.   Mengetahui Langkah-langkah Pihak Manajemen 
3.   Mengetahui Perundingan Kolektif 
4.   Mengetahui Kesepakatan Kerja Bersama 
5.   Mengetahui Hubungan Pekerja – Manajemen 
6.   Mengetahui Tindakan Disiplin dan Pengaduan 


BAB II
PEMBAHASAN

           2.1  Landasan Pertimbangan Pembentukan Serikat Karyawan
Pada saat pembentukannya, suatu serikat pekerja/serikat buruh (SP) harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Hal ini berdasarkan Pasal 11 Serikat Kerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:
·   Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
·   Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
1.    nama dan lambang;
2.      dasar negara, asas, dan tujuan;
3.      tanggal pendirian;
4.      tempat kedudukan;
5.      keanggotaan dan kepengurusan;
6.      sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
7.      ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

Setelah proses pembentukannya selesai, maka tahapan yang harus dilakukan berikutnya adalah memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja dari pemerintah Kabupaten atau walikotamadya di mana perusahaan berdomisili) untuk dilakukan pencatatan atas pembentukan SP tersebut. Hal ini diatur di dalam Pasal 18 UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi:
·   Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
·       Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
1.      daftar nama anggota pembentuk;
2.      anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
3.      susunan dan nama pengurus.

2.2   Langkah-langkah Pihak Manajemen

1.   Merancang pekerjaan-pekerjaan yang secara pribadi memuaskan para karyawan.
2.   Mengembangkan rencana-rencana yang memaksimumkan berbagai kesempatan individual di samping meminimumkan kemungkinan pemutusan hubungan kerja.
3.   Memilih para karyawan yang “qualified”.
4.   Menetapkan standar-standar prestasi kerja yang adil, mempunyai arti dan obyektif.
5. Melatih para karyawan dan manager sehingga memungkinkan mereka untuk mencapai tingkat prestasi yang diharapkan.
6.   Menilai dan menghargai perilaku atas dasar prestasi kerja nyata.

2.3  Perundingan Kolektif
Perundingan kolektif adalah suatu proses dimana perwakilan manajemen dan serikat pekerja yang bertemu untuk merundingkan satu kesepakatan tenaga kerja. Perundingan kolektif ini akan memuat persetujuan tentang ketentuan khusus menyangkut upah, jam, dan kondisi kerja.
Factor-faktor Pengaruh dalam Perundingan Kolektip
1.      Cakupan rundingan
Yaitu banyaknya buruh yang akan terkena hasil perundingan atau perjanjian kerja, seperti dalam suatu departemen, devisi, perusahaan atau keseluruhan karyawan dalam suatu industry.
2.      Tekanan-tekanan perundingan serikat karyawan
Selain penggunaan taktik tawar-menawar, ada tiga tipe tekanan yang lebih kuat yang kadang-kadang digunakan :
a.       Pemogokan
b.  Mencegah atua menghalangi karyawan-karyawan yang ingin masuk kerja sewaktu diadakan pemogokan.
c.   Boycotts.
3.      Peran pemerintah
Serikat karyawan dan buruh sering lebih mempersilahkan intervensi pemerintah untuk menyelesaikan berbagai masalah hubungan kerja mereka. Interverensi ini paling tidak dlam bentuk segala perundang-undangan dan peraturan di bidang perburuhan.
4.      Kesediaan perusahaan
Kesediaan perusahaan untuk berunding secara terbuka dengan serikat karyawan di tentukan oleh kemampuan atau kekuatan perusahaan, filsafat kepemimpinan, gaya manajemen dan kemungkinan menggunakan alat-alat pemaksaan (misal ; pemecatan, skorsing, demosi dan sebagainya)


2.4  Kesepakatan Kerja Bersama
Adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Peraturan-peraturan yang mendasari diperlukannya KKB/PKB antara lain adalah:
1.      UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.      UU No. 1 Tahun 1954 tentang Perjajian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan
3.    UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
4.      PP No.49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan
5.  Kepmenaker No.Per-01/MEN/1985 tentang Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama

             2.5   Hubungan Pekerja – Manajemen
Manajemen dipengaruhi baik oleh tujuan-tuhuan business unionism maupun social uniosm. Perkembangan berbagai bentuk konpensasi tembahan yang telah dibahs di muka pad aumumnya merupakan hasil tekanan langsung atau bidang bidang langsung dari karyawan. Bahkan tanpa adanya tekanan-tekanan tersebut, perusahaan harus selalu memperbaiki program kompensasinya agar tetap bisa bersaing dalam memperebutkan karyawan-karyawan yang berkualitas. Bila para karyawan merasa tidak puas terhadap berbagai kondisi perusahaan, mereka berkumpul dan membentuk suatu serikat karyawan (union).
Serikat karyawan adalah organisasi para pekerja yang dibentuk untuk mempromosikan atau menyatakan pendapat, melindungi, dan memperbaiki, melallui kegiatan kolektip, kepentingan-kepentingan social, ekonomi dan politik para anggotanya.
Serikat karyawan menyebabkan perubahan-perubahan perilaku para manajer.  Agar kegiatan serikat tidak berkembang, manajemen harus menerapkan pendekatan proaktif, seperti :
1.      Merancang pekerjaan-pekerjaan yang secara pribadi memuaskan para kryawan.
2. Mengembangkan rencana-rencana yang memaksimumkan berbagai kesempatan individual disamping meminimumkan kemungkinan pemutusan hubungan kerja.
3.      Memilih par akaryawan yang qualified.
4.      Menetapkan standar-standar prestasi kerja yang adil.
5.   Melatih para karyawan dan manajer sehingga memungkinkan mereka untuk mencapai tingkat prestasi yang diharapkan.
6.      Menilai dan menghargai perilaku atas dasar prestasi kerja nyata.

Sering konflik-konflik yang terjadi antara perusahaan da serikat karyawan merupakan akibat sikap masing-masing pihak yang kurang kooperatif. Bagaimanapun juga, sikap kerjasama harus dikembangkan pada kedua belah pihak agar operasi organisasi dapat berjalan lancer dan tercpai secara otomatis, tetapi harus ada inisiatif dari departemen personalia.
Manajemen personalia dapat mengembangkan kerjasama antara perusahaan dan serikat karyawan melalui :
a.       Konsultasi awal
Dengan para pemimpin serikat karyawan untuk membahas masalah-masalah sebelum menjadi keluhan yang lebih formal.
b.      Perhatian
Yang sungguh-sungguh terhadap maslah-masalah dan kesejahteraan karyawan, bahkan bila manajemen tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan hal itu menurut perjanjian kerja.
c.       Panitia-panitia kerja bersama
Manajemen dan para pengurus serikat karyawan untuk mencari penyelesaian-penyelesaian berbagai masalah yang sering timbul.
d.      Program-program latihan
Yang secara obyektif mengkonsumsikan maksud perundingan serikat karyawan dan manajemen serta mengurangi kesalahan-kesalahan pengertian dan berbagai bentuk bias lainnya.
e.       Pihak ketiga
Yang dapat memberikan pedoman atau pengarahan dan program yang membuat para pemimpin serikat karyawan dna manajer semakin dekat untuk secara bersam amencapai sasaran-sasaran

           2.6  Tindakan Disiplin dan Pengaduan
Disiplin karyawan dan prosedur menangani keluhan karyawan digunakan oleh organisasi untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelang-garan peraturan kerja organisasional atau masalah kerja yang buruk.  Apabila seorang karyawan mempunyai keluhan terhadap organisasi atau manajemen, sewajarnya karyawan tersebut menggunakan prosedur untuk menyelesaikan masalahnya.
Agar dapat berkompetisisecara efektif, organisasi harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa mereka yang berkinerja bagus dimotivasi untuk tetap bertahan bekerja bersama organisasi, sedangkan mereka yang memiliki kinerja  rendah didorong untuk meningkatkan kinerjanya atau kalau perlu dipaksa untuk meninggalkan organisasi.  Bagaimanapun juga , mempertahankan orang-orang yang berkinerja tinggi tidaklah selalu mudah.  Untuk melaksanakan hal tersebut, organisasi dapat menggunakan program-program seperti, pengembangan karyawan, pengelolaan kinerja dan pengembangan karir.



BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

        Serikat karyawan merupakan gabungan pemersatu karyawan sehingga karyawan memiliki rasa persaudaraan yang kuat karena kesamaan di bidang profesi . Serikat karyawan atau union terbentuk karena para karyawan tidak puas terhadap berbagai kondisi perusahaan. Kerangka hubungan serikat karyawan dan manajemen terdiri dari 3 aktor (pemeran) utama : para pekerja dan wakil-wakil mereka (pengurus serikat), para manajer (manajemen) dan wakil-wakil pemerintah dalam bidang legislatif,yudikatif dan eksekutif. Masing-masing pihak ini saling ketergantungan, namun mereka tidak seimbang. Pemerintah adalah kekuatan dominan karena menentukan peranan manajemen dan serikat karyawan melalui hukum-hukum dalam bidang kepegawaian atau perburuhan.



Referensi :



http://verahadiyati.blogspot.com/2012/12/perundingan-kolektif.html